Chest Tube Bukan Terapi Lini Pertama pada Pneumotoraks Spontan Primer

Oleh :
dr. Sonny Seputra, Sp.B, M.Ked.Klin, FINACS

Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemasangan chest tube atau selang dada interkostal bukan lagi merupakan terapi lini pertama pada pneumotoraks spontan primer (PSP). Selama beberapa dekade, manajemen pneumotoraks sering diperdebatkan dan rekomendasi antara berbagai pedoman saling kontradiktif.[1,2]

Sekilas tentang Pneumotoraks Spontan Primer

Pneumotoraks spontan dibagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan sekunder. Pneumotoraks spontan primer atau primary spontaneous pneumothorax sering ditemukan pada orang sehat tanpa penyakit paru yang mendasari, sedangkan pneumotoraks spontan sekunder umumnya terjadi pada pasien yang mempunyai penyakit paru.

Chest Tube Bukan Terapi Lini Pertama pada Pneumotoraks Spontan Primer-min (1)

Pneumotoraks spontan primer masih menjadi masalah global yang signifikan dengan insidensi 18–28 kasus per 100.000 populasi per tahun untuk pria dan 1,2–6 per 100.000 populasi per tahun untuk wanita. Angka kematian akibat pneumotoraks spontan primer juga masih relatif tinggi. Dengan demikian, diperlukan penanganan yang tepat untuk menurunkan angka kematian PSP.[2]

Manifestasi pneumotoraks spontan primer dapat bervariasi dari ringan hingga berat, tetapi kebanyakan pasien mengalami gejala yang minimal atau bahkan asimtomatik.

Walaupun pemeriksaan radiologis, seperti Rontgen toraks dan CT scan, membantu menegakkan diagnosis tetapi pneumotoraks merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada manifestasi pada pasien. Beberapa peneliti dan stake holder, seperti European task force, setuju bahwa evaluasi klinis dan manajemen pneumotoraks spontan primer seharusnya dilakukan berdasarkan klinis pasien, bukan berdasarkan temuan pada Rontgen toraks atau CT scan.[2]

Pemasangan chest tube sebelumnya dianggap menjadi terapi utama pada pneumotoraks spontan guna mengeluarkan udara dan mengembangkan kembali paru yang kolaps. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pemasangan chest tube merupakan tindakan invasif yang tidak terlepas dari risiko komplikasi yang berpotensi menyebabkan morbiditas dan mortalitas.[1]

Komplikasi dari Pemasangan Chest Tube

Komplikasi yang dapat muncul adalah malposisi selang, empiema, dan fistula bronkopleura. Selain itu, dapat terjadi cedera anatomis organ sekitar lokasi pemasangan, seperti ruptur pada esofagus, ventrikel jantung, arteri pulmonalis, diafragma, parenkim paru, dan mediastinum. Hal ini akan menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman pada pasien.[1,3]

Bukti Ilmiah Chest Tube Bukanlah Lini Pertama Pneumotoraks Spontan Primer

Melihat komplikasi yang dapat terjadi, pemasangan chest tube saat ini sudah mulai ditinggalkan. Berbagai studi dilakukan untuk menilai perbandingan efikasi chest tube dan modalitas lain, guna memilih manajemen yang tepat untuk pneumotoraks spontan primer.

Thelle et al meneliti perbandingan antara pemasangan chest tube dan aspirasi sederhana pada pasien pneumotoraks spontan primer dan sekunder yang simtomatik atau dengan gambaran pneunotoraks >30% pada hasil Rontgen toraks. Hasil studi menunjukkan bahwa pasien yang menjalani aspirasi sederhana memiliki durasi rawat inap yang lebih singkat dan keberhasilan awal yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang menjalani pemasangan chest tube.

Efek positif aspirasi sederhana juga terlihat signifikan pada kelompok pneumotoraks spontan primer. Selain itu, komplikasi hanya ditemukan pada kelompok chest tube, bukan pada kelompok aspirasi sederhana. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa aspirasi sederhana dapat dipilih sebagai intervensi awal, baik pada pneumotoraks spontan primer maupun sekunder.[3]

Efikasi Chest Tube Vs Konservatif pada Pasien Asimtomatik

Berdasarkan meta-analisis dan tinjauan sistematis terbaru oleh Lee et al pada 11.922 kasus PSP yang asimtomatik, didapatkan bahwa manajemen konservatif memiliki tingkat rekurensi dan resolusi yang sama dengan pemasangan chest tube, dengan risiko komplikasi yang lebih rendah.

Dari 8 studi yang dikaji, terdapat total 11.922 kasus PSP, di mana pemasangan chest tube dilakukan pada 6.344 pasien, sedangkan 5.578 pasien mendapatkan terapi konservatif. Peneliti tidak mendapatkan adanya perbedaan bermakna terhadap rekurensi gejala antara kedua kelompok. Tingkat resolusi juga terlihat serupa pada kelompok terapi konservatif dan chest tube. Komplikasi malah terlihat lebih rendah pada kelompok konservatif.[4]

Uji acak terkontrol oleh Brown et al membandingkan manajemen konservatif dengan pemasangan chest tube pada pasien PSP tanpa komplikasi dengan ukuran lesi sedang hingga besar. Studi ini dilakukan pada 316 pasien (154 pasien dalam kelompok chest tube dan 162 pasien dalam kelompok konservatif).

Pasien dievaluasi selama 12 bulan dan pengembangan paru dicatat dalam 8 minggu pertama. Pengembangan paru terjadi pada 129 dari 131 pasien (98,5%) dalam kelompok chest tube dan pada 118 dari 125 pasien (94,4%) dalam kelompok konservatif. Disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan efektivitas pengembangan paru pada kelompok konservatif dan kelompok chest tube.

Selain itu, risiko komplikasi dan rekurensi juga lebih rendah pada kelompok konservatif dibandingkan kelompok chest tube. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa manajemen konservatif tidak lebih inferior daripada pemasangan chest tube untuk pneumotoraks spontan primer.[5]

Dalam sebuah studi kohort retrospektif, Chew et al turut membandingkan antara efikasi manajemen konservatif dan pemasangan chest tube pada pasien pneumotoraks spontan primer. Sebanyak 53 pasien mendapatkan manajemen konservatif dan 58 pasien menjalani pemasangan chest tube.

Semua pasien dalam kondisi stabil. Setelah dievaluasi, didapatkan bahwa kelompok konservatif mengalami durasi rawat inap yang lebih pendek dan tingkat komplikasi yang lebih rendah daripada kelompok ches tube. Tingkat rekurensi pada kedua kelompok terlihat sama.

Namun, desain penelitian yang retrospektif merupakan keterbatasan studi ini. Randomisasi juga tidak dilakukan pada studi ini, sehingga dapat terjadi bias penelitian.[6]

Efikasi Chest Tube Vs Aspirasi Sederhana pada Pasien Simtomatik

Pada meta-analisis oleh Zhu et al, dilakukan analisis terhadap 5 uji acak terkontrol dengan total 358 pasien. Didapatkan hasil bahwa kelompok aspirasi sederhana mengalami durasi rawat inap yang lebih pendek daripada kelompok chest tube. Tidak ada perbedaan pada tingkat kesuksesan terapi dalam 1 minggu pertama, risiko rekurensi dalam 1 tahun, dan risiko komplikasi di antara kedua kelompok.[7]

Selain itu, aspirasi sederhana memiliki kelebihan yaitu tidak membutuhkan rawat inap dibandingkan dengan drainase dengan chest tube. Pemasangan chest tube juga dianggap memiliki kekurangan berupa ketidaknyamanan bagi pasien, termasuk nyeri dan adanya komplikasi pasca pemasangan. Saat ini, beberapa pedoman telah menyatakan rekomendasi terapi lini pertama pada pneumotoraks spontan primer.[2,8]

Pedoman tentang Manajemen Pneumotoraks Spontan Primer

Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh British Thoracic Society (BTS) mengenai manajemen pneumotoraks spontan primer, manajemen konservatif untuk pneumotoraks yang minimal dan asimtomatik telah terbukti aman. Pasien yang tidak sesak dapat menjalani penanganan rawat jalan dengan syarat pasien dapat dengan mudah mencari pertolongan medis jika terjadi pemburukan gejala.

Intervensi dianjurkan untuk pasien dengan pneumotoraks spontan primer yang simtomatik, dengan lini pertamanya adalah aspirasi sederhana. BTS juga menganjurkan agar pemasangan chest tube dihindari karena menyakitkan dan berpotensi menyebabkan komplikasi. Apabila terjadi kegagalan terapi dengan aspirasi jarum, maka pemasangan chest tube berukuran kecil (<14 Fr) diperlukan. Tidak diperlukan pemasangan selang dada ukuran besar (>20 Fr). [2]

Komite European Respiratory Society (ERS) yang terdiri dari multidisiplin spesialisasi, yaitu dokter bedah dan dokter paru, merekomendasikan bahwa pada episode pertama pneumotoraks spontan primer, aspirasi sederhana diperlukan hanya pada pasien simtomatik. Bila muncul pneumotoraks persisten atau rekuren, maka diperlukan terapi pleurodesis.

European Respiratory Journal juga merekomendasikan terapi lini pertama untuk pneumotoraks spontan primer adalah observasi atau aspirasi sederhana, bila pasien perlu mendapatkan pengobatan. Pemasangan chest tube hanya diindikasikan pada pasien dengan distres napas oleh karena nyeri dan berisiko mengalami komplikasi.[10,11]     

Sejalan dengan ini, American College of Chest Physician (ACCP) juga mengategorikan rekomendasi terapi berdasarkan beratnya gejala dan tingkat keparahan kolaps paru yang dinilai dengan Rontgen toraks. Pasien dengan klinis yang stabil dapat diobservasi selama 3–6 jam di unit gawat darurat dan pasien dapat dipulangkan apabila hasil Rontgen toraks tidak mengindikasikan progresivitas pneumotoraks.

Pada pasien dengan klinis stabil dengan pneumotoraks besar, intervensi berupa pemasangan kateter berukuran kecil (≤14 Fr) atau chest tube berukuran 16 atau 22 Fr.  Sedangkan pada pasien yang tidak stabil dengan pneumotoraks besar, perlu dilakukan pemasangan chest tube berukuran 16 atau 22 Fr.[9]

Beberapa asosiasi di atas memiliki pendapat yang seragam bahwa chest tube bukan lah terapi lini pertama pada pasien asimtomatik atau stabil. Akan tetapi terdapat perbedaan pandangan mengenai aspirasi sederhana dari ACCP, yaitu aspirasi sederhana jarang diperlukan pada pneumotoraks dengan kondisi klinis apa pun.[2,9,10,11]

Kesimpulan

Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemasangan chest tube bukan merupakan lini pertama manajemen pneumotoraks spontan primer. Beberapa pedoman juga mengeluarkan rekomendasi yang sejalan.[2,9,10]

Pada pasien pneumotoraks spontan primer yang asimtomatik, observasi (manajemen konservatif) efektif dan aman untuk dilakukan, dengan komplikasinya lebih rendah daripada chest tube. Sedangkan pada pasien yang simtomatik, aspirasi sederhana cukup untuk mengatasi pneumotoraks, yang ditunjukkan oleh durasi rawat inap dan tingkat rekurensi yang setara jika dibandingkan dengan pemasangan chest tube.

Pemasangan chest tube sebaiknya dihindari pada pasien pneumotoraks spontan primer, mengingat komplikasi yang dapat ditimbulkan.

Referensi