Anesthesia Awareness Saat Anestesi Umum

Oleh :
dr. Andrian Yadikusumo, Sp.An

Anesthesia Awareness saat anestesi umum adalah ingatan eksplisit kejadian-kejadian intraoperatif ketika pasien berada di bawah pengaruh anestesi. Anesthesia Awareness bisa menjadi pengalaman traumatik dan memberi dampak psikologis buruk bagi pasien. Beberapa pasien bahkan menderita gejala yang berat dan menetap, seperti post traumatic stress disorder (PTSD).[1,2]

Faktor Risiko Anesthesia Awareness

Anaesthesia Awareness (AA) merupakan kondisi dimana pasien dapat melakukan recall kejadian yang dialaminya pada saat di bawah anestesi umum. Terminologi ini merujuk pada kondisi kembalinya kesadaran pada pasien yang telah teranestesi umum dengan cukup dalam. Pasien yang mengalami Anesthesia Awareness dapat melakukan recall beberapa sampai dengan seluruh kejadian pada saat dirinya di bawah pengaruh anestesi, termasuk pengalaman nyeri yang dirasakan selama tindakan.[3–5]

AnesthesiaAwareness

Faktor risiko Anaesthesia Awareness dapat dibagi menjadi faktor pasien, faktor prosedur medis, dan faktor anestesi. Faktor risiko terkait pasien antara lain riwayat Anaesthesia Awareness sebelumnya, instabilitas hemodinamik, usia (pediatrik dan geriatrik lebih berisiko), penggunaan opioid dan ansiolitik kronik, penyalahgunaan zat, serta konsumsi alkohol dan kebiasaan merokok.

Prosedur yang cenderung lebih berisiko menyebabkan Anaesthesia Awareness antara lain pembedahan jantung, sectio caesarea, pembedahan trauma, kraniotomi, pembedahan di malam hari, dan manajemen jalan napas yang sulit.

Sementara itu, faktor anestesi yang berkaitan dengan Anaesthesia Awareness adalah dosis obat anestesi yang tidak adekuat dan gangguan pada alat yang digunakan. Faktor anestesi yang paling utama berpengaruh pada kejadian Anaesthesia Awareness adalah penggunaan neuromuscular blocking agent (NMBA). Kejadian Anaesthesia Awareness dilaporkan sebesar 1:8000 jika NMBA digunakan, dibandingkan 1:136.000 jika NMBA tidak digunakan.[3,6,7]

Pencegahan Anesthesia Awareness

Risiko Anaesthesia Awareness dapat diturunkan dengan melakukan beberapa prinsip praktik klinis, misalnya dengan melakukan evaluasi preoperatif yang adekuat.

Evaluasi Preanestesi

Evaluasi preanestesi perlu mencakup anamnesis riwayat pasien, pemeriksaan fisik, identifikasi faktor risiko, serta melakukan edukasi pada pasien yang dianggap berisiko mengalami Anaesthesia Awareness. Riwayat pasien yang perlu digali termasuk riwayat Anaesthesia Awareness sebelumnya, kondisi medis yang dapat mempengaruhi (misalnya penyalahgunaan zat), riwayat anestesi, dan obat yang pernah atau sedang dikonsumsi. Tipe anestesi dan pembedahan juga perlu diidentifikasi.

Secara umum, adanya penyalahgunaan zat, keterbatasan hemodinamik, dan riwayat Anaesthesia Awareness sebelumnya merupakan beberapa faktor predisposisi kuat.[3,7,8]

Preinduksi Anestesi Umum

Pada fase preinduksi, perlu dilakukan pemeriksaan alat dan bahan yang akan digunakan untuk mencegah kesalahan penggunaan dan administrasi obat. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan checklist alat anestesi (vaporizer, pompa infus, dan set nafas) serta checklist obat. Selain itu, dapat pula diberikan benzodiazepine profilaksis. [3,7-9]

Intervensi Intraoperatif

NMBA perlu digunakan secara bijaksana. Pada pasien yang mendapat NMBA dapat dilakukan pemantauan fungsi neuromuskular jika dianggap perlu. Anestesi inhalasi perlu dipantau dengan end-tidal gas analyzers. Selain itu, minimum alveolar concentration (MAC) dari agen anestesi dijaga agar tetap di atas 0,8.[3,7-9]

Alat pengukur kedalaman anestesi tidak disarankan untuk digunakan secara rutin. Penggunaan dapat dipertimbangkan bila pasien dalam kondisi terbius dengan menggunakan teknik total intravenous anesthesia (TIVA) dan menggunakan NMBA. Meski demikian, perlu diketahui bahwa terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Anaesthesia Awareness tidak berhubungan secara linier dengan kedalaman anestesi.[9,10]

Selama prosedur berlangsung, waspadai tanda Anaesthesia Awareness. Hal ini mencakup takikardia, peningkatan tekanan darah, keringat berlebih, menangis, takipnea, dan pergerakan pasien.[3,8]

Intervensi Postoperatif

Setelah prosedur bedah selesai, ada baiknya pasien menjalani wawancara untuk mengidentifikasi apakah ia mengalami Anaesthesia Awareness. Jika ada, maka berikan konseling postoperatif dan dukungan psikologis.[3,7]

Manajemen Anesthesia Awareness

Manajemen Anaesthesia Awareness dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu pertemuan, analisis, dan bantuan selanjutnya.

Pertemuan

Pertemuan yang dimaksud adalah wawancara pasca terjadinya Anaesthesia Awareness, penggalian kondisi pasien, dan pemberian bantuan psikologis. Dalam tahap ini, pewawancara harus menunjukkan empati terhadap pasien dan menunjukkan penyesalan akan kejadian yang dialami pasien. Sampaikan bahwa kejadian ini tidak diharapkan. Evaluasi kondisi emosional dan psikologis pasien, kemudian catat dalam rekam medis.[11]

Analisis dan Bantuan Lanjutan

Tahap analisis dan bantuan selanjutnya adalah tahap pengkajian sejauh mana kejadian Anaesthesia Awareness pada pasien. Identifikasi penyebab kesadaran adalah poin penting. Kesalahan obat atau dosis yang kurang cukup sering menyebabkan Anaesthesia Awareness.

Detail cerita pasien mengenai kejadian yang dialaminya selama prosedur sangat penting untuk menunjukkan keparahan Anaesthesia Awareness. Beberapa pasien mengalami recall auditori saja, tapi ada juga yang mengalami kesulitan bernapas hingga merasakan nyeri selama prosedur. Banyak pasien yang mengalami Anaesthesia Awareness menyatakan bahwa kejadian tersebut merupakan pengalaman paling menakutkan dalam hidupnya dan membuatnya merasa tidak berdaya. Umumnya pasien menjadi trauma dan menyatakan tidak mau menjalani tindakan operatif ataupun anestesi lagi.

Untuk pasien yang mengalami Anaesthesia Awareness, sebaiknya dilakukan follow up 1x24 jam untuk menjaga dan mengidentifikasi adanya mimpi buruk, tilas balik, dan gejala ansietas awitan baru yang memerlukan bantuan psikiatri. Pasien juga sebaiknya menjalani follow up sampai dengan 2 minggu untuk melihat adanya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).[1,4]

Hingga kini belum ada konsensus khusus terkait terapi PTSD akibat Anaesthesia Awareness. Psikoterapi, farmakoterapi, cognitive behaviour therapy, eye movement desensitization, dan reprocessing and exposure therapy dilaporkan bermanfaat bagi PTSD terkait Anaesthesia Awareness.[8]

Kesimpulan

Anaesthesia Awareness adalah kondisi dimana pasien yang berada di bawah anestesi umum mampu melakukan recall terhadap kejadian intraoperatif. Anaesthesia Awareness dapat berupa recall auditori, kesulitan bernapas, hingga merasakan nyeri. Kejadian ini akan membuat pasien merasa tidak berdaya dan dapat meninggalkan trauma bermakna, bahkan pasien bisa mengalami post traumatic stress disorder (PTSD)

Faktor risiko Anaesthesia Awareness antara lain usia (pediatrik atau geriatrik lebih berisiko), riwayat Anaesthesia Awareness sebelumnya, penyalahgunaan zat, konsumsi alkohol dan kebiasaan merokok, serta penggunaan neuromuscular blocking agent (NMBA).

Anaesthesia Awareness dapat dicegah dengan melakukan evaluasi preanestesi yang adekuat, melakukan pengecekan terhadap alat dan obat anestesi yang akan digunakan, memberikan benzodiazepine profilaksis, menggunakan NMBA secara rasional, dan melakukan pemantauan adanya Anaesthesia Awareness selama prosedur.

Pada pasien yang mengalami Anaesthesia Awareness, lakukan evaluasi untuk mengetahui keparahan dan mengidentifikasi penyebab. Berikan pasien dukungan psikologis dan awasi terjadinya PTSD.

Referensi