Pendekatan Diagnosis Hematoma Kulit Spontan

Oleh :
dr. Regina Putri Apriza

Pendekatan diagnosis hematoma kulit spontan terkadang dapat menyulitkan. Hematoma kulit merupakan kondisi ketika terjadi ruptur pembuluh darah di bawah kulit, sehingga darah masuk ke jaringan subkutan dan menghasilkan warna biru kehitaman pada permukaan kulit.

Hematoma umumnya terjadi akibat trauma, tetapi hematoma kulit juga dapat terjadi secara spontan. Pada kondisi tersebut, perlu dipertimbangkan adanya gangguan faktor pembekuan darah maupun gangguan pada pembuluh darah.[1,2]

shutterstock_1298152789-min

Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya hematoma kulit spontan berdasarkan yang paling sering ditemui di antaranya yaitu koagulopati iatrogenik, hemophilia, trombositopenik purpura, disseminated intravascular coagulation (DIC), Henoch Schonlein purpura (HSP), purpura senilis, dan inhibitor koagulasi.[1]

Koagulopati Iatrogenik

Salah satu penyebab tersering terjadinya hematoma kulit spontan yaitu koagulopati iatrogenik. Pada kondisi ini, terjadi gangguan koagulasi darah akibat penggunaan obat antikoagulan, seperti warfarin, aspirin dan clopidogrel.

Risiko perdarahan pada pasien yang mendapatkan terapi dengan antikoagulan dapat meningkat bila digunakan bersama obat lain, seperti antidepresan, antibiotik, bahkan obat pencernaan seperti cimetidine, dan omeprazole.[1,3,4,19]

Penggunaan obat-obatan ini semakin sering digunakan saat ini, sehingga perlu bagi dokter untuk memperhatikan efek interaksi obat. Pasien harus dimonitor secara ketat untuk menentukan risiko perdarahan, terutama pada saat inisiasi terapi dan saat perubahan dosis.[1,5,6]

Hemofilia

Penyebab lain hematoma spontan adalah hemofilia yang merupakan kelainan genetik berupa gangguan koagulasi darah. Spektrum hemofilia dimulai dari ringan hingga derajat berat.

Hemofilia derajat berat sudah dapat terlihat secara nyata sejak neonatus, yaitu perdarahan spontan terutama di dalam sendi atau hemarthrosis. Derajat sedang dapat muncul ketika usia lebih dewasa dengan gejala perdarahan spontan, seperti  nyeri pada sendi weight-bearing akibat hemarthrosis. Umumnya kondisi ini jarang terjadi. Sedangkan gejala dan tanda hemofilia ringan hanya muncul pada saat terjadi trauma atau pasca operasi.[1]

Hemofilia merupakan penyakit yang diturunkan secara X-linked dan mengganggu fungsi faktor pembekuan. Pasien dengan hemofilia A mengalami defisiensi FVIII sementara pasien dengan hemofilia B mengalami defisiensi faktor IX.

Secara garis besar, pasien dengan hemofilia dapat mengalami hematoma kulit spontan ataupun akibat trauma minor hingga mayor, tergantung derajat beratnya gangguan faktor pembekuan yang dialami. Karakteristik lain dari hemofilia yang dapat membedakan dengan penyakit lain yaitu adanya pemanjangan nilai APTT dengan nilai PT normal.[8,9]

Trombositopenik Purpura

Trombositopenik purpura dapat bersifat idiopatik atau memiliki dasar etiologi trombotik. Keduanya memiliki ciri khas trombositopenia, dan perlu ditanyakan pada pasien apakah memiliki riwayat infeksi virus, infeksi saluran napas atas, keganasan, dan penggunaan obat antiplatelet. Tipe akut idiopatik jarang terjadi pada orang dewasa.

Sedangkan tipe trombotik umumnya disertai dengan gejala klinis lain termasuk gejala neurologis, penurunan fungsi ginjal, dan demam. Diagnosis ini dapat dieksklusi jika hasil pemeriksaan darah menunjukkan nilai trombosit normal.[1,10,11]

Saat ini, trombositopenik purpura tipe idiopatik sudah berganti nama menjadi tipe imunologik. Pada kondisi ini, terjadi trombositopenia dengan fungsi sumsum tulang belakang yang normal. Immune trombositopenia purpura (ITP) merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya peningkatan destruksi platelet perifer akibat adanya antibodi spesifik terhadap glikoprotein membran platelet.

Pada ITP seringkali ditemukan purpura, menorrhagia, epistaksis, perdarahan gusi, dan hematoma spontan. Hasil laboratorium pasien ITP akan menunjukkan adanya trombositopenia terisolasi, dengan hemoglobin dan leukosit normal, serta faktor koagulasi dan waktu perdarahan yang normal.[12]

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan penyakit yang memiliki karakteristik teraktivasinya koagulasi darah sistemik yang dapat menyebabkan deposisi fibrin, sehingga dapat menyebabkan trombus mikrovaskuler pada berbagai organ dan multiple organ dysfunction syndrome (MODS). Manifestasi dermatologis DIC yaitu munculnya petechiae, purpura, atau hematoma spontan.[13]

DIC umumnya merupakan komplikasi atau progresi dari penyakit lain, seperti sepsis, trauma, keganasan, reaksi transfusi berat, dan komplikasi obstetrik. Komplikasi obstetrik meliputi emboli cairan amnion, abruptio placenta, sindrom hemolysis, elevated liver enzymes and low platelets (HELLP), eklampsia, abnormalitas vaskular, dan gagal hati.

Pasien DIC umumnya mengalami gejala yang berat dan dapat mengancam nyawa. Dapat ditemukan distress napas, perdarahan saluran cerna, hematuria, hingga gangguan sirkulasi seperti hipotensi, takikardi, dan syok sepsis.[13]

Henoch Schonlein Purpura

Henoch Schonlein purpura (HSP) merupakan penyakit vaskulitis yang disebabkan oleh gangguan immunoglobulin A. Penderita HSP umumnya mengeluh nyeri kepala, anoreksia, demam, ruam kulit, nyeri sendi, edema, dan perdarahan gastrointestinal.

Ruam kulit berupa makula eritematosa atau urtikaria merupakan temuan awal dari pasien HSP, dan akan berubah menjadi papul. Pada akhirnya menjadi purpura yang umumnya bersifat simetris, dan predileksi di kaki bagian bawah pada pasien dewasa. Sementara pada orang anak-anak, predileksi lesi umumnya berada di punggung, bokong, dan ekstremitas atas. Keluhan pasien HSP dapat hilang sendiri setelah 6−8 minggu.[14]

Purpura Senilis

Purpura senilis atau purpura aktinik memiliki tampilan area hematoma berwarna gelap dan berbentuk irregular. Umumnya dialami oleh lansia usia di atas 50 tahun, tetapi dapat juga ditemui pada usia lebih muda dengan kondisi tertentu, misalnya penderita penyakit paru obstruktif kronis atau autoimun yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang.[1,15,16]

Kelainan ini terjadi akibat elastisitas kulit yang abnormal, dan mobilitas yang menyebabkan ruptur pembuluh darah kecil dan superfisial. Area predileksi pada permukaan ekstensor tangan dan lengan. Kondisi ini berhubungan dengan proses penuaan karena adanya atrofi pada jaringan ikat perivascular di permukaan ekstensor tangan dan lengan, di mana purpura umumnya muncul selama 1‒3 minggu. Selain itu, purpura senilis juga dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan ikat dermis akibat paparan sinar matahari.[1,15,16]

Pada anamnesis pasien dengan purpura senilis tidak didapatkan adanya nyeri, pruritus, ataupun perubahan warna kulit yang terjadi pada tipe lesi purpura lainnya. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya lesi makula purpura yang berukuran lebih besar dari 3 mm. Biasa ditemukan pada permukaan ekstensor lengan dan pada bagian dorsum manus yang tidak menyebar ke area jari. Dapat pula ditemukan ekimosis pada leher dan wajah.

Tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk pasien purpura senilis karena tidak memiliki hasil yang khas. Pada pemeriksaan biopsi dapat ditemukan epidermis yang tipis disertai keratinosit abnormal, dan dermis atas mengalami ekstravasasi sel darah merah dan hemosiderin tanpa adanya sel inflamasi.[16]

Inhibitor Koagulasi

Inhibitor koagulasi seringkali terjadi pada pasien dengan defisiensi faktor koagulasi kongenital berat, penyakit autoimun, sensitif terhadap obat, alergi, keganasan, dan pada wanita pasca melahirkan.

Walaupun pada awalnya inhibitor koagulasi diperkirakan jarang terjadi pada anak, saat ini ditemukan bahwa anak tanpa defisiensi faktor koagulasi kongenital dapat mengalami perdarahan spontan akibat autoantibodi.

Terdapat laporan bahwa 3% anak yang mengalami skrining sebelum pembedahan mengalami pemanjangan APTT akibat adanya antibodi terhadap faktor koagulasi.[1,4]

Kekerasan Fisik

Apabila pasien menyangkal terjadinya riwayat trauma, dokter juga perlu memikirkan terjadinya tindakan kekerasan fisik, terutama pada pasien lansia. Umumnya pada kasus ini dapat ditemukan memar yang tidak diketahui penyebabnya. Tanda lain yang dapat menyertai misalnya malnutrisi, dehidrasi, luka terbuka, patchy hair loss, dan fraktur yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. [1,17,18]

Kesimpulan

Terdapat beberapa diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan ketika menemukan kasus hematoma kulit spontan. Area berwarna biru kehitaman pada permukaan kulit yang muncul spontan tanpa didahului riwayat trauma dapat disebabkan kelainan darah, gangguan vaskular, maupun iatrogenik.

Namun, dokter tetap harus mencurigai penyebab hematoma pada pasien yang menyangkal riwayat trauma bila ditemukan gejala dan tanda dugaan kekerasan fisik.

 

 

Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja

Referensi