Bahaya Kandungan Triclosan dan Triclocarban pada Sabun Antiseptik

Oleh :
Immanuela Hartono

Triclosan dan triclocarban merupakan dua antiseptik yang mendapat peringatan akan potensi bahayanya. Pada tahun 2017, Food and Drugs Administration (FDA) mengeluarkan peraturan mengenai bahaya dari sabun antiseptik terhadap kesehatan tubuh, juga kesehatan lingkungan. Dua zat aktif yang mendapat sorotan karena potensi bahayanya adalah triclosan dan triclocarban.

Triclosan dan triclocarban tidak ditemukan bermanfaat sebagai antiseptik yang efektif. Selain itu, penggunaannya sebagai produk rumah tangga diasosiasikan dengan peningkatan risiko atopik atau alergi pada anak. Dokter sebaiknya mengedukasi masyarakat untuk menghindari produk rumah tangga yang mengandung kedua zat tersebut.

Depositphotos_118978336_m-2015

Pernyataan FDA mengenai Kandungan Zat Aktif pada Sabun Antiseptik

FDA menyebutkan terdapat 19 zat aktif yang terkandung pada sabun antiseptik yang digunakan sehari-hari dan dijual bebas.

Zat Aktif pada Obat Antiseptik yang Dikhawatirkan oleh FDA

Terdapat 19 zat aktif yang terkandung dalam obat antiseptik dan menjadi kekhawatiran, antara lain:

  1. Cloflucarban
  2. Fluorasalan
  3. Hexachlorophene
  4. Hexylresorcinol
  5. Kompleks iodine (ammonium ether sulfate dan polyoxyethylene sorbitan monolaurate)
  6. Kompleks iodine (phosphate ester of alkylaryloxy polyethylene glycol)
  7. Nonylphenoxypoly (ethyleneoxy) ethanol iodine
  8. Kompleks poloxamer-iodine
  9. Povidone-iodine 5-10%
  10. Kompleks undecoylium chloride iodine
  11. Methylbenzethonium chloride
  12. Phenol dengan konsentrasi <1.5%
  13. Phenol dengan konsentrasi >1.5%
  14. Secondary amyltricresols
  15. Sodium oxychlorosene
  16. Tribromsalan
  17. Triclocarban
  18. Triclosan
  19. Triple dye [1]

FDA menilai sabun dengan kandungan 19 zat aktif tersebut sebagai salah kategori dan tidak seharusnya digunakan untuk penggunaan sehari-hari. Sabun dengan zat-zat aktif tersebut umum digunakan untuk menjaga kebersihan tangan tenaga kesehatan di rumah sakit, serta digunakan pada pasien yang sedang melakukan persiapan preoperatif dan digunakan untuk surgical hand scrub.[1]

Tenaga medis dan pasien memang lebih rentan terhadap bakteri. Selain itu, paparan sabun antiseptik pada tenaga medis ini tidak sesering penggunaan sabun antiseptik yang bisa digunakan konsumen di rumah. Hal ini yang menimbulkan kekhawatiran akan potensi bahaya penggunaan zat-zat ini secara rutin, jika digunakan sehari-hari.[1]

FDA menilai efektivitas sebuah zat dengan memberikan label generally recognized as effective (GRAE). Penilaian dilakukan dengan membandingkan benefit-to-risk dari zat tersebut. Zat aktif dinilai berdasarkan kemampuan memberi keuntungan secara klinis yang lebih besar dibanding efek samping buruk yang bisa didapat, seperti efek karsinogenik atau toksisitas reproduksi.[1,2]

Selain itu, efektivitas zat juga dinilai dari membandingkan keuntungan klinis yang menonjol dari sabun antiseptik ini dalam membunuh bakteri dibanding sabun nonantibakterial. Hingga saat ini, belum terkumpul cukup data yang dapat memastikan keuntungan klinis yang signifikan dari sabun antiseptik dibandingkan sabun nonantimikrobial. Penggunaan sabun antiseptik masih belum tergolong GRAE.[1,2]

Dalam menilai keamanan zat, FDA juga melihat seberapa tinggi paparan zat aktif secara sistemik. Paparan jangka panjang akan beberapa zat ini dikhawatirkan memberikan efek resistensi bakteri. Diperlukan data tambahan yang mendukung keamanan zat aktif untuk menggolongkan sabun antiseptik sebagai aman (generally recognized as safe/GRAS).[1,2]

Dari 19 zat yang terkandung ini, ada 2 zat aktif yang sering dibicarakan, karena penggunaannya yang semakin meningkat setiap tahun. Padahal, efek samping buruk dari zat ini terus ditemukan. Kedua zat ini adalah triclosan dan triclocarban.[1,2]

Triclosan dan Triclocarban

Triclosan dan triclocarban digunakan sebagai antimikroba. Kedua zat ini terkandung dalam lebih dari 2000 produk, seperti sabun, pasta gigi, deterjen, pakaian, mainan, karpet, plastik, dan cat. Kedua zat ini paling banyak terkandung dalam produk perawatan diri. Triclosan paling banyak ditemukan pada pasta gigi dan sabun cair. Triclocarban paling banyak terkandung pada sabun batang.

Triclosan dan triclocarban yang digunakan pada produk konsumer berakhir di lingkungan, serta menjadi senyawa toksik dan karsinogenik. Kedua zat ini beserta bentuk transformasinya dapat terakumulasi pada tanaman dan binatang di air, sehingga menyebabkan efek merugikan. Limbah dari zat ini pada akhirnya dapat ditemukan mencemari air di permukaan, air tanah, atau terserap di tanah. Partisi triclosan juga dapat dideteksi dalam darah dan air susu ibu (ASI).

Triclosan mudah larut dalam air, sehingga di dalam air akan mengalami transformasi dan menghasilkan senyawa baru yang lebih membahayakan, antara lain chlorinated phenoxyphenols, chlorinated phenols, dan trihalomethanes. Senyawa-senyawa baru tersebut dapat menyebabkan berbagai perubahan pada lingkungan akuatik, seperti pH, suhu, proses fotolitik, dan kelembapan, serta mikroorganisme, seperti mikroalgae, jamur, dan protists.[3,4]

Konsensus Florence Statement on Triclosan and Triclocarban

The Florence Statement on Triclosan and Triclocarban mendokumentasikan konsensus dari 200 ilmuwan  dan profesional kesehatan akan bahaya, dan kurangnya bukti keuntungan klinis dari penggunaan triclosan (TCS) dan triclocarban (TCC) secara rutin. Aspek bahaya ini dibagi menjadi isu medis dan lingkungan.[3]

Tidak Adanya Bukti yang Kuat akan Manfaat Triclosan dan Triclocarban

Triclosan banyak dijumpai dalam produk konsumen, misalnya pasta gigi, pembersih, kaos kai, dan mainan bayi. Meskipun FDA telah melarang penggunaan triclosan pada sabun rumah tangga sejak tahun 2017, masih banyak negara-negara lain yang belum mengeluarkan larangan serupa.[5]

Padahal, sejak tahun 2003, Centers for Disease Control and Prevention Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee (CDC) menyatakan tidak ada bukti yang cukup menunjukan fungsi zat ini dalam meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit konsumen.[3]

Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya waktu paparan dari zat ini untuk memberi efek keuntungan, kurang lebih 6 detik diperlukan saat mencuci tangan. Selain itu, zat ini juga terdilusi saat mencuci tangan dengan air.[3]

Limbah Triclosan dan Triclocarban bersifat Toksik dan Karsinogenik

Terdapat berbagai mekanisme yang diduga menjelaskan efek karsinogenik dari triclosan dan triclocarban. Di dalam tubuh, triclosan bersifat sebagai ligand yang menempel pada reseptor hormon, sehingga menekan sekresi hormon, dan berujung pada gangguan keseimbangan hormon.Menempelnya ligand pada reseptor menyebabkan gangguan sintesis faktor transkripsi yang dihubungkan dengan terjadinya kanker.[6]

Terdeteksinya triclosan dalam ASI, meningkatkan dugaan adanya hubungan antara triclosan dengan kanker payudara. Selain itu, triclosan diduga berhubungan dengan kanker payudara karena menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid. Konsentrasi hormon tiroid yang tinggi ditemukan membuat seseorang lebih berisiko terkena kanker payudara.[6]

Triclocarban akan terdegradasi secara aerobik dan photolysis menjadi 4-chloroaniline dan 3,4-dichloroaniline, zat yang juga dipercaya dapat menyebabkan kanker.[7]

Paparan Zat Aktif Triclosan dan Triclocarban

Triclosan dan triclocarban dapat menembus plasenta dan diekskresikan melalui ASI. Hal ini terbukti dari terdeteksinya kandungan triclosan dan triclocarban pada pemeriksaan plasenta bayi saat hamil. Paparan sejak masa prenatal ini terus berlanjut hingga dewasa.

Beberapa studi menilai kandungan urin manusia untuk melihat kandungan zat triclosan dan triclocarban yang diekskresi oleh tubuh manusia. Sebuah studi di Cina pada tahun 2016 yang dilakukan pada 209 orang dewasa memberikan hasil bahwa TCC terdeteksi hingga 99% di sampel urin peserta. Di Amerika Serikat, triclosan dapat terdeteksi dalam 75% urin orang dewasa.

Triclocarban dilaporkan terdeteksi pada serum darah wanita hamil di Cina, kuku kaki pada suatu populasi di Cina, dan pada sampel urin di berbagai negara.[3,7,8]

Potensi Bahaya dari Paparan Triclosan dan Triclocarban

Studi pada tahun 2016 melakukan intervensi pada tikus yang hamil dan diberikan paparan triclosan. Hasil menunjukan turunnya kadar tiroksin baik pada maternal, fetal dan neonatal. Penurunan kadar tiroksin pada ibu hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan otak fetus, sehingga studi mengenai efek triclosan dan triclocarban pada sistem endokrin dan reproduksi manusia perlu dilakukan lebih lanjut.[9]

Potensi bahaya lainnya adalah peningkatan risiko penyakit alergi pada pasien. Sebuah studi cross-sectional di Korea pada tahun 2014 dilakukan pada 25.805 sampel anak-anak. Orang tua atau wali anak diberikan kuisioner akan frekuensi penggunaan produk antimikrobial selama sehari-hari. Kemudian, peneliti melihat prevalensi timbulnya asthma, rhinitis alergi, dan dermatitis atopik anak selama 12 bulan terakhir.

Hasil menunjukan adanya peningkatan gejala alergi atau atopik pada anak yang menggunakan produk antimikrobial sehari-hari. Selain itu, hasil juga menunjukan adanya dose-dependent dari frekuensi penggunaan antiseptik dengan frekuensi timbulnya gejala alergi.[10]

Kekurangan dari penelitian ini adalah kemungkinannya adanya bias misklasifikasi yang disebabkan tidak semua produk yang mempunyai kandungan triclosan tertulis antiseptik, antimikrobial atau antibakteri.[10]

Selain itu, karena desain studi potong lintang, asosiasi reverse causality masih bisa terjadi. Studi ini tidak bisa menentukan apakah paparan produk antiseptik yang menyebabkan meningkatnya frekuensi gejala alergi, atau apakah anak-anak dengan resiko alergi menyebabkan orang tua memberikan penggunaan produk rumah tangga yang mengandung antiseptik lebih sering.[10]

Namun, hipotesis peningkatan risiko alergi ini bisa dijelaskan oleh efek penggunaan antiseptik yang menyebabkan seluruh mikroorganisme pada tubuh mati. Padahal beberapa mikroorganisme tetap diperlukan sebagai stimulasi T helper 1 (TH1) dan T helper 2 (TH2). Stimulasi TH1 dan TH2 mempunyai peran penting dalam maturasi sistem imun tubuh.[3,10]

Pada tahun 2020, Xie, et al. menganalisis hubungan paparan triclocarban dan triclosan terhadap risiko diabetes melitus tipe 2. Studi ini menggunakan data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES), dan melibatkan 900 peserta.[11]

Hasil studi menemukan bahwa triclocarban dapat meningkatkan risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2, sebesar 1,79 kali pada peserta wanita. Berdasarkan kesimpulan studi ini, masih dibutuhkan studi lanjutan untuk mengonfirmasi asosiasi yang didapatkan, serta mencari mekanisme yang mendasarinya.[11]

Potensi Resistensi Antibiotik akibat Penggunaan secara Terus-menerus

The Florence Statement mengumpulkan hasil beberapa studi yang menunjukan bahwa paparan triclosan secara terus menerus dapat meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.[3]

Hasil serupa didapatkan dari studi intervensi oleh Ribado, et al. pada tahun 2017. Studi bertujuan untuk mengetahui pengaruh paparan triclosan dalam produk perawatan diri terhadap mikrobiota dalam tubuh ibu dan bayi mereka.[12]

Hasil studi menemukan bahwa paparan triclosan tidak menyebabkan perubahan mikrobiota usus ibu maupun bayi. Namun, pada sampel feses ibu yang menggunakan pasta gigi triclosan, ditemukan Proteobacteria yang resisten antibiotik. Saat dibandingkan dengan kelompok kontrol, bayi yang memiliki kadar triclosan lebih tinggi memiliki jumlah Proteobacteria yang lebih banyak.[12]

Meskipun paparan triclosan tidak merubah komposisi mikrobiota usus pada bayi dan orang dewasa, tetapi paparan triclosan mungkin berpengaruh dalam terjadinya resistensi antibiotik.[12]

Kesimpulan

Pada tahun 2016, FDA telah mengeluarkan larangan terhadap 19 zat antimikroba yang sering digunakan pada sabun antiseptik yang dijual bebas. Dua di antaranya adalah triclosan (TCS) dan triclocarban (TCC).

The Florence Statement on Triclosan and Triclocarban membuat konsensus yang meneliti bahaya dari TCC dan TCS. Potensi bahaya dari kedua zat ini, antara lain risiko peningkatan resistensi antibiotik, gangguan fertilitas, serta peningkatan risiko berbagai penyakit, seperti kanker, diabetes mellitus tipe 2, dan alergi.

Mekanisme yang mendasari efek merugikan dari TCS dan TCC memang masih belum sepenuhnya dibuktikan secara ilmiah. Walau demikian, dokter sebaiknya mengambil langkah pencegahan dengan mengedukasi masyarakat untuk menghindari sabun yang mengandung kedua zat aktif tersebut.

 

 

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi