Diagnosis Angina Pektoris
Diagnosis angina ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, yang didukung dengan penunjang untuk mengeksklusi infark miokard akut.
Anamnesis
Walaupun banyak dogma terkait karakteristik nyeri dada tertentu yang menandakan angina, tetapi studi yang ada menunjukkan sebaliknya. Studi oleh Body et al menyatakan bahwa banyak gejala atipikal, seperti nyeri dada yang menjalar ke kedua pundak, yang justru lebih meningkatkan kemungkinan adanya infark miokard dibandingkan gejala tipikal tradisional yang dipercayai selama ini. Studi ini menemukan bahwa nyeri yang menjalar ke tangan kanan, nyeri menjalar ke kedua tangan, adanya muntah, nyeri dada bagian tengah, dan diaforesis adalah gejala-gejala yang meningkatkan kemungkinan infark miokard akut. Sedangkan nyeri di dada kiri anterior, nyeri dada saat istirahat, dan nyeri dada yang menjalar ke tangan kiri adalah gejala-gejala prediktor negatif infark miokard. [62]
Pasien yang datang dengan manifestasi klinis berupa angina pektoris kemudian perlu diklasifikasi menjadi pasien dengan angina stabil (stable angina pectoris/SAP) atau tidak stabil (unstable angina pectoris/UAP). UAP adalah nyeri dada tipikal onset baru, meningkat dalam hal frekuensi, intensitas, dan durasi, yang terjadi saat istirahat. Perbedaan ini penting sebab terdapat perbedaan risiko kematian jangka pendek pada pasien UAP risiko sedang dan tinggi dibandingkan pasien dengan SAP. [5]
Selain penentuan sifat nyeri dada, anamnesis juga perlu mencakup evaluasi seluruh faktor risiko konvensional penyakit jantung iskemik. Hal ini termasuk riwayat merokok saat ini maupun masa lampau, riwayat dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, kebiasaan hidup, serta riwayat penyakit jantung iskemik prematur dalam keluarga. Informasi tentang riwayat penyakit arteri perifer dan serebrovaskuler juga meningkatkan peluang kejadian penyakit jantung iskemik. [5]
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai memiliki angina pektoris dapat membantu mengidentifikasi penyebab dasar angina. Pasien biasanya masih sadar penuh dengan tanda vital dalam batas normal, kecuali pada beberapa kondisi. Tekanan darah dapat meningkat pada pasien dengan riwayat hipertensi. [6] Sebaliknya, apabila pasien memiliki tekanan darah rendah pada dua pengukuran dalam waktu yang berbeda, hal ini meningkatkan kecurigaan sindrom koroner akut alih-alih angina pektoris stabil sebagai penyebab nyeri dada. [36]
Pada pemeriksaan fisik jantung, inspeksi dinding dada tidak akan menunjukkan suatu temuan yang khas untuk angina pektoris. Pemeriksaan auskultasi jantung dapat mengungkap temuan yang mengarah pada kemungkinan diagnosis banding terhadap penyebab nyeri dada seperti gallop pada gagal jantung, serta murmur ejeksi sistolik pada apeks dan garis sternal kiri pada kardiomiopati hipertrofik. [37,38]
Selain itu, beberapa temuan pemeriksaan fisik memiliki rasio kemungkinan (likelihood ratio/LR) lebih tinggi dalam mendiagnosis penyakit jantung koroner. Karakteristik temuan fisik tersebut mencakup indeks tekanan darah pergelangan kaki berbanding tangan (ankle-brachial-index/ABI) < 0,9, arcus senilis, dan lipatan diagonal pada daun telinga (earlobe crease). [40]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding perlu dipertimbangkan pada pasien dengan karakteristik gejala nyeri dada atipikal atau non-anginal. Diagnosis banding terhadap angina pektoris akibat penyakit jantung iskemik mencakup penyebab kardiovaskuler lain non-iskemik, penyakit paru, saluran cerna, dinding dada, dan penyebab psikiatrik.
Diseksi Aorta
Diseksi aorta dan perikarditis merupakan penyakit kardiovaskuler non iskemik yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding terhadap angina pektoris. Diseksi aorta asendens dapat memiliki gejala berupa nyeri dada substernal sedangkan diseksi aorta desendens umumnya ditandai dengan nyeri dada posterior di area interskapula. Penjalaran ke arah pinggang dan panggul dapat terjadi pada diseksi aorta dan membedakannya dari karakteristik nyeri angina pektoris. Diseksi aorta sering digambarkan sebagai nyeri dada seperti disayat pisau dan merupakan nyeri paling berat yang pernah dialami pasien. Pada subtipe anatomi tertentu yang melibatkan perikardium dan ostium arteri koroner, diseksi aorta dapat pula disertai instabilitas hemodinamik dan dapat berujung kematian pada sebagian besar kasus. Pemeriksaan computed tomography angiography (CTA) merupakan modalitas diagnostik pilihan pada kasus diseksi aorta. [41]
Perikarditis Akut
Perikarditis akut ditandai dengan nyeri dada retrosternal yang memberat dengan posisi berbaring dan membaik ketika posisi badan tegak serta dapat didahului gejala prodromal berupa demam, lemas, dan mialgia. Perbedaan lain nyeri dada akibat perikarditis dari angina pektoris adalah sensasinya yang makin memberat saat inspirasi. Pada pemeriksaan fisik perikarditis akut dapat ditemukan friksi perikardium saat auskultasi jantung. Elektrokardiogram dapat menunjukkan perubahan depresi segmen PR dan elevasi segmen ST yang merata hampir di semua sandapan, sedangkan foto toraks dapat mengungkap adanya efusi perikardium. [42]
Emboli Paru
Emboli paru biasanya ditandai dengan sesak napas saat istirahat atau beraktivitas, nyeri dada pleuritik, nyeri dan pembengkakan betis atau paha. Pada kasus emboli paru masif, infark paru yang luas dapat terjadi dan biasanya disertai dengan hipotensi yang dapat berakibat fatal. [44]
Pneumothorax
Lokasi nyeri dada pada pneumothorax biasanya bersesuaian dengan hemitoraks yang terkena dampak penyakit tersebut dan karakteristiknya atipikal. Pneumothorax dengan mudah dapat dibedakan dari angina pektoris dengan adanya beberapa temuan pemeriksaan fisik yang membantu, seperti penurunan hemithorax saat inspirasi, hiperresonansi saat perkusi dinding dada, dan penurunan bunyi napas pokok pada auskultasi. [45]
Pneumonia
Pneumonia biasanya diawali dengan gejala sesak napas yang menyertai batuk produktif, demam, dan nyeri dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan pneumonia dapat ditemukan penurunan bunyi napas pokok serta ronkhi pada hemitoraks yang terinfeksi. [46]
Heartburn
Nyeri akibat penyakit esofageal (heartburn) memiliki karakteristik berupa rasa terbakar yang berhubungan dengan postur berbaring, terjadi setelah makan, dan disertai dengan disfagia. Berbeda dengan angina pektoris yang terjadi saat usai makan besar, nyeri dada akibat spasme esofageal terjadi secara konstan selama dan setelah makan. Spasme esofageal juga dapat membaik dengan pemberian nitrogliserin sehingga interpretasi respons pasien terhadap obat tersebut perlu dilakukan dengan hati-hati. Di sisi lain, nyeri esofageal biasanya membaik dengan konsumsi susu, antasida, makanan dan minuman hangat. [21]
Kolik Bilier
Penyebab nyeri dada atipikal lainnya adalah kolik bilier. Perbedaan karakteristik nyeri pada kolik bilier dibandingkan angina pektoris adalah sifat nyeri yang menetap, berlangsung lama hingga 2-4 jam, dan membaik spontan tanpa adanya gejala antara dua episode serangan. Nyeri juga paling berat dirasakan di perut kanan atas walaupun dapat menyebar ke epigastrium dan prekordium. Pemeriksaan ultrasonografi dapat mendiagnosis adanya batu empedu sebagai penyebab kolik serta mengevaluasi anatomi kandung empedu dan saluran empedu. [21]
Kelainan Muskuloskeletal
Beberapa kondisi muskuloskeletal juga dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan angina pektoris. Pada kostokondritis, nyeri dada biasanya terletak pada sambungan kostokondral tanpa disertai pembengkakan. Apabila terjadi pembengkakan sambungan kostokondral, pasien patut dicurigai menderita sindrom Tietze. Nyeri dada biasanya semakin memberat saat dilakukan palpasi pada sambungan kostokondral tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut bukanlah temuan spesifik untuk kostokondritis saja dan tidak serta merta menyingkirkan diagnosis penyakit jantung koroner. [21]
Tabel 2. Diagnosis Banding Penyebab Nyeri Dada Selain Angina Pektoris
Penyebab kardiovaskular non iskemik | Diseksi aorta Perikarditis |
Penyakit paru-paru | Emboli paru Pneumotoraks Pneumonia Pleuritis |
Penyakit gastrointestinal | Spasme esofageal Esofagitis Refluks gastroesofageal Kolik bilier Kolangitis, kolesistitis, koledokolitiasis Ulkus peptikum Pankreatitis |
Penyakit dinding dada | Kostokondritis Fibrositis Arthritis sternoklavikular Herpes zoster |
Penyakit psikiatrik | Gangguan cemas Gangguan afektif |
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat mendukung diagnosis angina pektoris dan menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium darah, elektrokardiografi, dan radiologi.
Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dilakukan pada seluruh pasien yang dicurigai mengalami penyakit jantung koroner (PJK). Beberapa tanda PJK seperti gambaran infark lama dan pola repolarisasi abnormal dapat ditemukan. [6,48]
Pemeriksaan EKG perlu diulang dari waktu ke waktu guna memastikan dinamika perubahan segmen ST khususnya pada kasus iskemia akibat vasospasme koroner. EKG juga dapat menunjukkan gambaran kelainan seperti hipertrofi ventrikel kiri (LVH), hambatan cabang berkas kanan dan kiri (LBBB dan RBBB), preeksitasi, dan aritmia lain. [6]
Pemeriksaan Enzim Jantung
Jika terdapat kecurigaan klinis adanya penyakit jantung koroner tidak stabil, pemeriksaan biomarka jejas miokard seperti troponin T atau I dapat dipertimbangkan, khususnya dengan teknik sensitivitas tinggi. Jika kadar troponin meningkat, manajemen pasien perlu disesuaikan sebagaimana yang direkomendasikan untuk pasien dengan infark miokard akut. Pada angina, enzim jantung umumnya dalam batas normal. [6]
Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat mengidentifikasi anemia maupun hipertiroidisme sebagai pemicu iskemia. Kadar glukosa plasma dan HbA1c perlu diperiksa pada setiap pasien yang dicurigai mengalami penyakit jantung koroner guna mengidentifikasi diabetes dan memprediksi luaran kardiovaskuler. Peningkatan kadar glukosa plasma puasa dan pasca makan diketahui berhubungan dengan luaran buruk pada pasien dengan penyakit jantung koroner stabil. [5,6]
Apabila temuan anamnesis mengungkap adanya riwayat hipertensi, diabetes, atau penyakit renovaskuler, evaluasi fungsi ginjal harus dilakukan sebab disfungsi ginjal berkaitan dengan prognosis buruk pada pasien dengan angina pektoris stabil. [47]
Profil Lipid
Profil lipid yang mencakup kolesterol total, lipoprotein densitas tinggi (HDL), lipoprotein densitas rendah (LDL), dan trigliserida harus dievaluasi pada seluruh pasien yang dicurigai menderita penyakit jantung koroner dan angina pektoris untuk menentukan profil risiko pasien serta menentukan langkah terapeutik lanjutan. [6]
Rontgen Dada
Rontgen dada dapat dianggap sebagai pemeriksaan radiologi awal yang rutin dilakukan pada pasien dengan angina pektoris. Modalitas radiologi ini memang tidak memberikan banyak informasi diagnostik maupun berperan khusus dalam stratifikasi risiko pada pasien dengan penyakit jantung koroner stabil. Namun, pemeriksaan ini dapat membantu mengungkap beberapa kondisi yang terkait dengan angina pektoris stabil seperti hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik serta menyingkirkan diagnosis banding dengan risiko mortalitas serius seperti gagal jantung. [6,37]
Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorasik (transthoracic echocardiography/TTE) dua dimensi dan Doppler saat istirahat akan memberikan data penting tentang struktur dan fungsi jantung. Pada pasien angina pektoris, fungsi ventrikel kiri biasanya normal walaupun kelainan gerakan dinding regional dapat terdeteksi. TTE juga dapat membantu mengenali karakteristik penyakit lain seperti penyakit jantung katup dan kardiomiopati hipertrofik yang juga perlu dipertimbangkan sebagai penyebab gejala angina pektoris. [6]
TTE sebaiknya dilakukan hanya jika pasien dicurigai menderita penyakit jantung iskemik, memiliki riwayat infark miokard, gambaran gelombang Q patologis pada EKG, serta tanda dan gejala gagal jantung, aritmia ventrikuler, serta murmur yang belum terdiagnosis. [5] Apabila memungkinkan, evaluasi arteri karotis dengan menggunakan ultrasonografi dapat membantu penentuan ketebalan intima-media dan mengidentifikasi plak. [6]
Uji Latih Jantung (ULJ)
Uji latih jantung (ULJ) menggunakan treadmill atau ergometer sepeda yang dilengkapi dengan pemantauan EKG 12 sandapan merupakan metode diagnostik lanjutan yang dipertimbangkan bagi pasien dengan probabilitas pretes terhadap penyakit jantung koroner stabil antara 15%-65%.
ULJ dapat memicu munculnya kelainan pada EKG yang bersifat diagnostik untuk PJK seperti depresi segmen ST ≥ 0,1 mV yang berdurasi 0,06-0,08 detik dan didahului titik J pada satu atau lebih sandapan. Namun, pemeriksaan semacam ini sangat dibatasi oleh kemampuan pasien khususnya bagi mereka yang memiliki masalah muskuloskeletal maupun penyakit non jantung yang mempengaruhi tercapainya titik lelah. Alternatif terhadap hal ini adalah penggunaan uji latih yang dipicu secara farmakologis. [6,34]
Sementara itu, ULJ juga bermanfaat dalam menilai efikasi terapi farmakologis maupun revaskularisasi serta menentukan peresepan latihan fisik yang aman setelah gejala angina terkendali. Untuk tujuan tersebut, ULJ dilakukan ketika pasien sedang mendapat pengobatan agar performa fisik dan pengendalian iskemia dapat dinilai. [6]
Angiografi Koroner Invasif
Pemeriksaan non invasif biasanya sangat membantu dalam menegakkan probabilitas adanya sumbatan arteri koroner sehingga angiografi koroner invasif hanya dilakukan pada pasien dengan karakteristik tertentu saja. Angiografi koroner dapat dipertimbangkan apabila pasien tidak dapat menjalani teknik pencitraan latih jantung (stress imaging), memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri (left ventricular ejection fraction/LVEF) < 50% disertai angina tipikal. Angiografi koroner juga mungkin diperlukan pasca stratifikasi risiko secara non invasif untuk menentukan perlu atau tidaknya tindakan revaskularisasi. [5,6]
Menurut sebuah studi terbaru, penggunaan percutaneous coronary intervention pada angina stabil tidak membawa manfaat bermakna dibandingkan sham surgery.
Sementara itu, angiografi koroner tidak boleh dilakukan pada pasien angina pektoris yang menolak prosedur invasif, revaskularisasi koroner, serta pasien yang bukan kandidat intervensi koroner primer atau coronary artery bypass grafting (CABG). Tindakan angiografi koroner pada pasien dengan karakteristik tersebut tidak akan memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup pasien. [6]
Magnetic Resonance Imaging (MRI) Jantung
MRI jantung dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi kelainan struktural jantung dan fungsi ventrikel. Modalitas radiologi ini disarankan bagi pasien yang telah menjalani ekokardiografi dengan hasil yang inkonklusif dan tidak memiliki kontraindikasi terhadap MRI jantung. [6]